Kamis, 14 Februari 2008

Sendiri...

Satu-satu, nafas Pak Umar terdengar sangat berat. Ia, terbaring di ranjang rumah sakit, sendiri... Hanya ditemani selang-selang dan jarum-jarum yang menancap tajam di sekujur tubuhnya... Seorang wanita setengah baya nampak memasuki ruanngannya...

"Kak, aku dah telpon anak-anak. Tapi, sepertinya mereka ndak bisa datang. Si Haris, ia sedang mendampingi isterinya yang mau melahirkan. Sedangkan si Windry, tak ada orang yang bisa mengantarnya kesini..."

"Yaa...sudahlah... Kakak sudah menduganya... Mereka..." Kalimat itu tak bisa ia selesaikan. Hanya airmata yang bisa melukiskan isi hatinya... Sementara, pikirannya menerawang jauh, ke hari-hari dimana kebersamaan dan kebahagiaan pernah ia miliki...

"Pa, Windry mau jalan-jalan ke Bali...". "Kalo, gitu sekalian ke Lombok ya, kita lewat darat aja skalian test drivernya nich, Haris...", Haris menambahkan. "Lewat darat? Nggak! Mama mau naik pesawat aja... ya Pa?". "Biarin kalo Haris mau lewat darat, ntar kita udah seneng-seneng tinggal pulangnya, kamu baru sampe dech...", kata Wndry menggoda sang adik. Mereka tertawa, bahagia bersama...

Sepotong kenangan indah yang masih melekat di ingatan Pak Umar. Sampai...
"Semuaa memang salahku..." "Sudahlah Kak, jangan pikirkan itu... Sekarang yang penting Kakak bisa sembuh... "

Bagaimana mungkin aku bisa sembuh..., batin Pak Umar. Tak ada orang yang mengharapkan kesembuhanku..., bahkan anak-anakku sendiri... Andai waktu bisa berulang, aku takkan mungkin melepas kebersamaan dan kebahagiaan itu...Andai aku tak tergelincir dalam lubang itu... Andai...

Dulu, aku begitu sombong...hingga aku lupa akan kebenaran yang haqiqi. Aku terlalu angkuh dengan segala yang kumiliki, uang dan tahta... Semua membuatku silau, hingga aku tak dapat melihat kerikil tajam yang membuatku tergelincir dalam jurang yang dalam, berbuat khilaf, khilaf yang tak termaafkan...

Aku terlanjur menikah lagi dengan seorang janda dan dua orang anaknya. Tak pernah terbersit niat di hatiku untuk melakukan itu... Tapi, apa hendak dikata, semua telah terjadi dan isteriku memutuskan untuk berpisah dariku. Aku tak kuasa menahannya, dan cukup bagiku selama Windry dan Haris bisa menjadi jembatan kami...

Tapi, semua tak berlangsung lama. Windry dan Haris, semakin lama semakin menjauh dariku. Entah apa yang terjadi sebenarnya... Yang kutahu, aku terlalu dalam menyakiti hati mereka... Bahkan pernikahan buah hatiku, Windry, dibatalkan karena sang calon besan tak ingin memiliki menantu dari keluarga broken home... Aku telah meremukkan hati isteri dan kedua buah hatiku, menenggelamkan semua harapan dan impian mereka...

Ya Allah, betapa mahal harga sebuah maaf yang harus kubayar...
Betapa ingin aku berlari dan memeluk mereka...
Betapa ingin aku memulai kembali semuanya dari awal bersama mereka...

Ya Allah, aku rindu mereka...
Aku ingin mereka disisiku, menemaniku...
Aku ingin mereka tahu betapa menyesalnya aku...
Aku ingin tahu mereka memberi maaf bagiku...
Sampai waktu menjelang, ku kan rela pergi walau sendiri.....

Tidak ada komentar: