Senin, 27 April 2009

Sabar dan Memaafkan...

Addin dengan teliti membaca berkas-berkas yang diberikan Ayah kepadanya. Lama Ayah menyimpan berkas-berkas itu bertahun-tahun silam. Berkas-berkas surat 'hibah' dari seseorang yang pernah Ayah bantu secara material dan orang tersebut membalas pertolongan Ayah dengan menghadiahkan sebidang tanah seluas dua setengah hektar di kawasan selatan kota metropolitan.

Ayah tak pernah mengharap akan mendapat balasan 'hibah' tanah dari sahabatnya itu. Bagi Ayah, bisa membantu seseorang yang sedang dalam kesulitan adalah sebuah kebahagiaan, terlebih kepada seorang sahabat. Namun atas desakan sahabatnya itu dan juga beberapa sahabat Ayah yang lain, akhirnya Ayah mau menerima hadiah itu dan dengan catatan, hadiah itu juga dibagikan kepada sahabat lainnya, sebagai ikatan persahabatan mereka. Setidaknya ada 3 nama yang disebutkan dalam surah 'hibah' tersebut, termasuk nama Ayah.

Kami sekeluarga sangat tahu mengenai hubungan Ayah dengan para sahabatnya itu, namun urusan surat itu, kami baru saja mengetahuinya setelah sepuluh tahun berlalu. Surat itu pada akhirnya dikeluarkan Ayah ketika Ayah telah divonis dokter menderita sakit yang sangat parah. Dan Ayah merasa waktu untuk berpulang menghadapNya sudah semakin dekat. Ayah ingin kepergiannya dapat meninggalkan 'sesuatu' yang Ayah anggap bisa bermanfaat bagi kami, keluarganya.

Berbekal keyakinan Ayahlah, kami menelusuri kembali lokasi fisik tanah itu, dan ternyata bukan hal yang mudah karena sudah begitu banyak yang berubah. Berkali-kali kami menelusurinya, dan hasilnya selalu berakhir di sebuah kompleks perumahan elit milik seorang konglomerat. Ayah menjadi bimbang dan ragu, karena seingat Ayah, tanah itu adalah tanah kosong yang luas, tapi itu dulu, sepuluh tahun yang lalu...

Kami sempat mengkonsultasikan perihal ini dengan salah seorang sepupu kami yang kebetulan membidangi masalah hukum dan pertanahan. Dan mengikuti saran beliau kami coba menemui para sahabat Ayah yang tertulis di surat tersebut. Alamat para sahabat Ayah ternyata sudah banyak yang berpindah, namun syukurlah masih dapat ditemui.

Mustajab, terpancar dari wajahnya rasa kaget dan ketakutan ketika bertemu Ayah. Bukankah seharusnya ia merasa senang bertemu seseorang yang sudah sangat lama tak berjumpa, seperti halnya Ayah yang kelihatan sangat semangat dan bahagia menjumpai sahabatnya. Keheranan kami terjawab dengan sebuah kenyataan pahit. Ternyata, dari tangan Mustajablah, tanah yang dulu menjadi hadiah dan ikatan persahabatan mereka, telah digadaikan kepada seorang konglomerat real estate, dan dengan cara yang 'lihai' tanpa melibatkan para penerima hibah lainnya, termasuk Ayah. Ya, uanglah yang berbicara pada akhirnya...

Kami sempat khawatir dengan kesehatan dan kestabilan emosi Ayah. Kami tidak memperkirakan bahwa kenyataannya akan seperti ini. Dan kami tidak ingin kenyataan ini mempengaruhi kesehatan Ayah. Namun ternyata Ayah mampu mengatasi emosinya dengan begitu bijak, dan Ayah berkata kepada sahabatnya itu, "Mus...Mus... ternyata kamu memang teman yang luar biasa..." lalu Ayah pun beranjak pergi dari rumah sahabatnya itu...

Selang beberapa hari sejak pertemuan itu, ketika Mustajab berkunjung ke rumah kami. Kedatangan Mustajab ternyata untuk memberikan ganti rugi kepada Ayah. Dan dia bersedia memberikan sebidang tanah pengganti seluas 700 meter persegi di kawasan kota tetangga.

Mustajab menyangka Ayah akan menerimanya. Namun di luar dugaan Ayah malah berkata, "Mus, kamu masih belum mengerti apa arti tanah yang kau gadaikan itu ya? Yang menjadi hak ku adalah tanah yang kau gadaikan itu, bukan tanah yang lain. Kalau hak ku sudah kau gadaikan, apa lagi yang harus aku harapkan? Kau tak perlu membeliku dengan tanah yang lain, karena aku sudah mengerti siapa kamu. Kamu yang dulu dan kamu yang sekarang, selalu aku bisa mengerti. Dan pegang lidahku Mus, dengar baik-baik, aku tidak akan memperkarakan hal ini di hadapan meja hijau dunia ini, tidak juga nanti di meja hijau di hadapannNYa!!!".

"Mus, aku tidak akan mati membawa tanah seluas itu. Yang aku butuhkan hanya ukuran tanah seluas 3x3 meter. Kalaupun tanah itu masih ada, aku ingin mengurusnya sebagai peninggalanku kepada keluargaku. Tapi aku sudah meyakinkan keluargaku, bahwa tanah yang sudah lepas, apa hendak dikata. Bahkan jasad inipun akan lepas di kemudian hari, akankah sanggup dirimu menghalangi?"

Mustajab hanya tertunduk malu, entah pada dirinya, pada Ayah, atau entahlah pada siapa... Satu yang pasti, kami sangat mendukung keputusan Ayah. Dan dengan sikap Ayah itulah, kami semakin mengerti makna kehidupan ini. Bahkan saat diri teraniaya dan dalam posisi bisa membalasnya, Ayah tetap saja ikhlas dan memaafkan. Kata-kata yang begitu mudah terucap namun begitu penuh perjuangan untuk bisa diamalkan...

"Dan orang-orang yang menimpa pada mereka penganiayaan, mereka membela diri. Dan membalas suatu kejelekan pada kejelekan yang serupa, maka barang siapa yang memaafkan dan berbuat ishlah, maka pahalanya orang atas Allah; sesungguhnya Allah tidak senang pada orang yang berbuat aniaya.
Dan niscaya orang yang sabar dan memaafkan, sesungguhnya demikian itu niscaya termasuk tetapnya (baiknya) perkara."
(QS. Asysyuuro : 39-40, 43)

13 komentar:

donalduck mengatakan...

terimakasih umi...
bener-bener cerita yang menyentuh... apalagi pesan terakhirnya: ...maka barang siapa memaafkan dan berbuat ishlah, maka...namun mi, menjadi ikhlas memaafkan kadang kali sulit mi...

brown sugar mengatakan...

Bravooo Bravooo......
Ga jauh beda dengan apa yang kualami Umi...
Ternyata kepercayaan untuk seorang teman memang mahal harganya.....
Bukan karena materi yang telah di rugikan ..tapi karena teman itu ga mengerti dan ga bisa menilai dan menghargai apa arti sebuah persahabatan dan arti hak orang lain.

Hanya ikhlas dan berserah bahwa rejeki, hidup dan mati adalah Milik yang Di Atas.

erik274916 mengatakan...

Cerita yang sangat menyentuh, yang bisa menjadi teladaan buat kita.

Benar sekali Umi, kata ikhlash sangat mudah kita ucapkan, namun pada kenyataannya, untuk mencapai tingkatan kata hati, maka memerlukan suatu perjuangan yg terus menerus

kawanlama95 mengatakan...

Umi cerita ini membuat diriku semakin mengingat namaNYa,aku terbawa suasana.Walau aku laki2 tapi tetap saja tidak bisa terbendung air mataku.mi saat ini aku hanya belajar ikhlas pada Allah. banyak hal yang terjadi pada saat ini.ya walau kita tak pernah berjumpa.tapi ini sangat mengharukan bagiku. Salam sama si abi, bersyukurlah mempunyai istri seperti umi. Umi panjatkan doa Robithoh untuk kita semua.

Mademoisellerinie mengatakan...

^^ Wuaa.. cerita na membuat rinie terdiam...

^^ mencoba flash back ke masa di mana saat rinie pernah tak ikhlas... :(

^^ nyesel selalu datang belakangan

^^ dan rinie gag mau lagi mengucapkan kata-kata sesal karena ketidak ihklasan tersebut...

^^ keikhlasan memang lebih membuat hidup ini tenang...

Dunia Polar mengatakan...

wedew....bener2 nyentuuh ni, hebaatt...salut pokoknya.

Bang Irwan mengatakan...

Nice storie mba Rin..
ini kenyataan ya?

sekali lagi, pengalaman ternyata memang membuat orang mestinya makin bijaksana....

usman mengatakan...

innallaha ma'asshobiriin

Albert Kennedy mengatakan...

ya...emang kita harus banyak belajar dari pengalaman..agar kitamenjadi insan yang lebih baik...eh,kok gue kayak pak ustad ya..!..lam akrab selalu..

melynsalam mengatakan...

nice p0st mii..
Sungguh menyentuh sekali.

free ebooks mengatakan...

beneran cerita yang menginspirasi. kita pada dasarnya baek. jadi kalau mau berbuat "mustajab", pikir dulu ribuan kali. tidak gampang untuk menebusnya, bahkan saat kita berniat memperbaiki kesalahan kita.

dwina mengatakan...

kalo kita menganiaya orang maka suatu saat kita akan di aniaya orang apa itu benar?

umi makasih sudah mengingatkan, yang aku ingat adalah apakah aku pernah menganiaya orang? kalo pernah ya Alloh ampuni diriku ini. aku pernah dianiaya orang tapi insyaAlloh coba untuk ikhlas walaupun pahit.

posicionamiento paginas web mengatakan...

Hey, there is a great deal of effective info above!