Bagi fans
Iwan Fals, rasanya sudah tak asing lagi dengan salah satu lagunya yang berjudul
'Oemar Bakrie'. Liriknya yang menceritakan nasib seorang
'Pahlawan Tanpa Tanda Jasa', mengegelitik telinga yang mendengarnya, namun mencerminkan kehidupan sejati seorang guru di sebuah tanah khatulistiwa...
Dulu, seorang guru yang sekaligus kepala sekolah di sebuah sekolah dasar negeri di ibukota negara, mulai dari jaman kolonial sampai jaman merdeka, mesti mencari tambahan untuk membiayai lima orang anak yatimnya sebagai seorang 'chef', dari satu pesta ke pesta yang lainnya. Ini memang karena kondisi negeri yang masih susah, tak mungkin untuk membebani keuangan negara dengan penghargaan yang memadai bagi seorang guru, dan tak sampai hati bagi seorang guru dan atau seorang kepala sekolah untuk mewajibkan seragam sekolah, buku-buku pelajaran, les-les tambahan, dan lain sebagainya.
Setelah merdeka, terlebih semenjak pemerintahan 'penguasa seumur hidup', nasib guru nggak terlalu beda dengan jaman kolonial belanda atau pun jepun. Yap, mereka masih saja diposisikan sebagai si penaggung jawab terbesar kecerdasan bangsa, tapi bicara hak mereka, mereka cukup beruntung di posisi 'kalau ada sisa alokasi dana blablabla...blablabla...'
Beruntung, belakangan ini, nasib para guru mulai dapat perhatian. Bahkan banyak para guru ini mendapatkan penghargaan meningkatkan kemampuan akademisnya, dengan melanjutkan program studi mereka ke jenjang yang lebih tinggi dengan biaya tanggungan negara *baca dana keuangan dunia yang dikelola instansi nasional*, tentunya dengan berbagai tes-tes akademis, proses birokrasi yang puaaanjaaang dan melelahkan, dan lain-lain dan lain-lain...
Alhamdulillah... demikian ungkapan syukur seorang dosen anak bangsa yang baru saja lulus tes melanjutkan program S3nya di Tsukuba University. Anehnya, ucapan syukurnya justru mencerminkan kebingungan di wajahnya. Bagaimana tidak, kelulusannya berarti ia harus melanjutkan kewajiban belajarnya selama setidaknya tiga tahun kedepan, sementara biaya pendidikannya dan biaya hidupnya selama disini yang mengandalkan kiriman beasiswa *baca dana keuangan dunia yang dikelola instansi nasional* yang baru sampai setelah berbulan-bulan *baca birokrasi puaaaanjaaaang pusat-daerah-pusat-luar negeri*.
Jika untuk dirinya sendiri saja sudah sangat terbebani, bagaimana mungkin ia bisa mengajak belahan jiwanya dan kedua buah hatinya yang masih balita untuk bisa hidup bersama di rantau seperti ini??? Dan bangaimana mungkin ia bisa berkonsentrasi untuk program studinya sebagai amanah lainnya yang harus dipikul?
Tanah airku, tanah tumpah darahku
Tanah subur, penuh luka dan benalu
Daripada pusing mikirin yang ada di depan mata, yang punya lagu Iwan fals, silahkan didengerin baik-baik lagunya Oemar Bakrie ya...
*Tulisan di atas tidak mewakili siapapun kecuali isi hati sang penulis*