Jumat, 07 November 2008

Demi Masa...



"Pak Amir, masuk parkiran itu ya...." "Ibu mau ke bank?", tanya Pak Amir keheranan. "Nggak kok, saya mau ada perlu yang lain sebentar. Las, aku turun sebentar ya, kamu disini aja biar nggak kepanasan." "Lho, emang kamu mau kemana Rien, diluar panas banget lho, jangan lama-lama ya..." Rien hanya tersenyum, dan keluar dari mobil...

Setelah menganggukkan kepala kepada Pak SATPAM yang ada di pelataran parkir sebuah bangunan tinggi berlantai 25, gedung megah perbankan dan perkantoran, Rien mengawasi halaman parkir, gedung megah itu dan setiap sudutnya. Semua sungguh tampak berbeda...

Terik matahari, panas menerpa wajah Rien. Tak ada satu pohonpun yang bisa melindunginya dari panas. Hhmm, dulu, aku selalu menikmati hembusan angin bertiup di atas pohon mangga yang dulu ada di pojok halaman parkir ini. Terik matahari tentunya tak menyengat seperti ini, karena daun pohon mangga yang rimbun, dengan setia menghalanginya...

Pelan, Rien meninggalkan pelataran parkir, berjalan menyisiri sisi jalan yang sungguh ramai dan padat, padahal sudah empat jalur terbentang, tetap saja 'crowded'!
Sungguh, lingkungan yang dulu kukenal, kini tak berbekas. Semua telah berubah menjadi lingkungan ramai hiruk pikuk manusia-manusia sibuk...

Rien melepas pandangan berkeliling, sudut matanya menangkap satu sosok bangunan yang sungguh tak asing. Bangunan megah yang rimbun dan berpagar tinggi, persis di seberang tempat Rien berdiri. Ya, bangunan itu, masih ada, dan rasanya masih dihuni oleh pemilik yang sama, penyanyi dan pemain piano terkenal jaman 80-an. Hhmm, pagar itu masih saja kokoh dan rapat seperti dulu...

Bangunan itu berdiri persis bersebrangan dengan bangunan tempat aku dulu tinggal. Yang mengherankan, selama bertahun-tahun, kami tak pernah saling bertemu, berpapasan, apalagi saling bertegur sapa. Aku bahkan sampai penasaran dan naik ke dahan pohon mangga yang tertinggi, untuk melihat rahasia di balik bangunan kokoh dan rimbun itu. Jawabnya, tetap tak terjawab...

Rien kembali menyusuri sisi jalan, sampai tiba di sebuah warung pojok yang menjual minuman dan makanan kecil. Rien melepas lelah, duduk, membeli sebuah teh dingin dan dua bungkus kacang sukro. Warung ini persis berada di pojok jalan, tepatnya sebuah gang kecil, yang sungguh berbeda dengan lingkungan di sisi depan jalan raya. Rasanya gang ini tidak berubah, batin Rien...

Asyik Rien menikmati minuman dingin yang melegakan dahaganya, tiba-tiba seorang lelaki tua, kurus dan kelam berteriak dan mendekat....
"Neng...Neng..., Neng anaknya Bunda ya???" Hampir tersedak, Rien terbata-bata menjawab, "Siapa ya Pak? Bapak kenal Bunda???" "Neng, saya Bang Udin, tukang becak yang biasa mangkal di depan rumah neng, rumah Bunda..." "Saya mah langsung ngenalin neng, soalnya mukanya miriiip banget sama Bunda. Neng mungkin lupa sama saya, tapi saya sama orang-orang yang pernah kenal Bunda, mana mungkin lupa sama Bunda dan keluarganya..."

Rien menawarkan minuman dan makanan kecil kepada lelaki itu, dan lelaki itu terus berceloteh, layaknya anak yang baru bisa bicara dan tak bisa berhenti...

"Wah, udah lama banget ya neng, ada kali setengah abad ya nggak ketemu. Katanya pindah ke selatan ya? Wah, emang enak disana mah, adem, nggak kayak disini gersang..." "Tapi, dulu mah beda, apalagi waktu Bunda sekeluarga masih tinggal disini. Kayaknya kita punya Ibu Peri yang suka menolong. Biar dikata Bunda bukan orang kaya-kaya banget kayak orang yang di seberang tuh, tapi, suka menolongnya sama siapa aja. Saya paling inget mah kalo lebaran, kita orang-orang kampung, tukang becak, tukang asongan, udah kayak tamu agung, diundang makan prasmanan, makanannya mana banyak banget macemnya, ampe bingung saya sama temen-temen, mau makan yang mana..."

"Dulu, saya inget bener, pas anak saya perlu bayaran sekolah, Bunda yang minjemin duit, ampe sekarang belum diganti. Tiap mau diganti mesti Bunda nolak, kamu lebih perlu Din...begitu katanya..." "Wah, saya jadi kangen yak sama Bunda, mana ada orang lain kayak gitu yak..."

Rien tertegun, ada butir-butir air mulai mengembang di kedua kelopak matanya. Rien menarik nafas panjang, mencoba menahan... Bang Udin benar, Bundaku tidak hanya Bunda di keluargaku. Bundaku adalah Bunda dari banyak orang di sekeliling kami. Pekerjaan beliau sebagai seorang Guru sekaligus Kepala Sekolah sebuah SD Negeri di bilangan pusat Jakarta, benar-benar melekat di jiwa dan keseharian beliau. Sejak kepergian Ayah ketika aku masih balita, Bunda bekerja keras membanting tulang membesarkan kami berlima, beliau bahkan menjadi seorang chef untuk menutupi semua kebutuhan kami. Tetapi beliau tak pernah lupa dengan hak orang lain, dan tak pernah berat untuk tetap mengulurkan tangannya kepada siapapun yang membutuhkannya...

Dering HP membuyarkan ingatan Rien, Lasmi sahabatnya di seberang sana. "Rien, kamu dimana? dah kelamaan nich..." Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada Bang Udin, Rien bergegas pergi, kembali menyisiri sisi jalan yang penuh sesak dengan polusi...

Galau yang sejak pagi tadi bergelayut di hati Rien, beringsut hilang...
Rien menarik nafas panjang dan tersenyum, "Bunda, aku tahu kau tersenyum menungguku..."

"Demi masa... Sesungguhnya manusia niscaya di dalam kerugian. Kecuali, orang -orang yang beriman dan beramal sholeh, dan menasehati dengan kebenaran, dan menasehati dengan kesabaran." (QS.Al 'Ashr : 1-3)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Bersambung ga ceritanya mba?

Anonim mengatakan...

Hhmmm, bersambung nggak ya... Ta' pikiri-pikir dulu ya.....;)